Vonis mati terhadap Ruyati di Arab Saudi, belakangan ini, bergulir pula ke ranah politik. Banyak pihak yang, seperti diakui Presiden Yudhoyono di konferensi pers bersama tiga menteri di Istana Kepresidenan, pada Kamis (23/6) pagi, menggelontorkan komentar, kritik, bahkan serangan terhadap pemerintah.
Semua itu, kata Yudhoyono, datang dari pengamat, politisi, hingga anggota DPR. "Itu dibenarkan dalam demokrasi. Negara demokrasi pula memberikan hak pada pemerintah memberi penjelasan...berdasar data fakta logika dan apa saja yang telah dan sedang kita lakukan," kata Yudhoyono.
Itulah pembuka yang disampaikan Presiden sebelum penjelasan oleh tiga menterinya. Bergiliran, Menteri Marty Natalegawa, Menteri Patrialis Akbar, lalu Menteri Muhaimin Iskandar, "membela diri". Mereka menyebut sejumlah upaya yang telah mereka lakukan terkait kasus Ruyati maupun terkait TKI di luar negeri.
Usai penjelasan tiga menteri itu, Yudhoyono menyebut bahwa tiap negara punya hukum, adat istiadat, dan budaya yang berbeda. Warga pendatang wajib menghormati kaidah-kaidah itu. Bahkan Presiden mengaku kerap didekati untuk melunakkan vonis mati warga negara lain di Indonesia. Tapi, hampir semua permintaan itu ditolak. Presiden Yudhoyono berkomentar cukup keras: "Kalau ada warga negara kita dihukum mati di negara lain, mengapa warga negara lain lantas kita berikan pengampunan?"
Menutup konferensi pers, Presiden Yudhoyono mengemukakan harapan masa depannya. "Kita berupaya...di tahun-tahun mendatang, ekonomi tumbuh dan makin terbuka lapangan pekerjaan, apa itu di infrastuktur, manufaktur, pertanian, hingga usaha mikro dan menengah," ujar Presiden.
Yudhoyono berharap, semua warga negara bersedia menyukseskan semua itu. Terutama juga para pemimpin-pemimpin di daerah. "Saya instruksi gubernur, bupati, walikota, sekuat tenaga menciptakan peluang di daerahnya masing2. Dengan demikian, harapan di masa depan janganlah saudara-saudara kita bekerja di luar negeri di sektor rumah tangga," kata dia.
Yudhoyono menambahkan, di era globalisasi ini, TKI boleh saja bekerja di luar negeri, tapi lebih baik lagi bila dipekerjakan karena keterampilan yang dimiliki dan karena daya saingnya.
Semua itu, kata Yudhoyono, datang dari pengamat, politisi, hingga anggota DPR. "Itu dibenarkan dalam demokrasi. Negara demokrasi pula memberikan hak pada pemerintah memberi penjelasan...berdasar data fakta logika dan apa saja yang telah dan sedang kita lakukan," kata Yudhoyono.
Itulah pembuka yang disampaikan Presiden sebelum penjelasan oleh tiga menterinya. Bergiliran, Menteri Marty Natalegawa, Menteri Patrialis Akbar, lalu Menteri Muhaimin Iskandar, "membela diri". Mereka menyebut sejumlah upaya yang telah mereka lakukan terkait kasus Ruyati maupun terkait TKI di luar negeri.
Usai penjelasan tiga menteri itu, Yudhoyono menyebut bahwa tiap negara punya hukum, adat istiadat, dan budaya yang berbeda. Warga pendatang wajib menghormati kaidah-kaidah itu. Bahkan Presiden mengaku kerap didekati untuk melunakkan vonis mati warga negara lain di Indonesia. Tapi, hampir semua permintaan itu ditolak. Presiden Yudhoyono berkomentar cukup keras: "Kalau ada warga negara kita dihukum mati di negara lain, mengapa warga negara lain lantas kita berikan pengampunan?"
Menutup konferensi pers, Presiden Yudhoyono mengemukakan harapan masa depannya. "Kita berupaya...di tahun-tahun mendatang, ekonomi tumbuh dan makin terbuka lapangan pekerjaan, apa itu di infrastuktur, manufaktur, pertanian, hingga usaha mikro dan menengah," ujar Presiden.
Yudhoyono berharap, semua warga negara bersedia menyukseskan semua itu. Terutama juga para pemimpin-pemimpin di daerah. "Saya instruksi gubernur, bupati, walikota, sekuat tenaga menciptakan peluang di daerahnya masing2. Dengan demikian, harapan di masa depan janganlah saudara-saudara kita bekerja di luar negeri di sektor rumah tangga," kata dia.
Yudhoyono menambahkan, di era globalisasi ini, TKI boleh saja bekerja di luar negeri, tapi lebih baik lagi bila dipekerjakan karena keterampilan yang dimiliki dan karena daya saingnya.
0 comments:
Post a Comment